Nasib Mahasiswa Filsafat, di Mana-mana Dianggap 'Gila'
Jakarta, Gangguan jiwa ada berbagai macam, mulai dari ringan seperti insomnia atau gangguan tidur sampai yang berat seperti skizofrenia. Orang awam seringkali secara serampangan melabelinya dengan sebutan 'gila'. Yang lebih parah lagi, banyak orang beranggapan penyebabnya karena banyak memikirkan hal yang berat-berat atau serius.
Terlalu banyak mempertanyakan sesuatu seperti makna kehidupan dan konsep-konsep abstrak membuat orang lain yang berpikiran praktis sulit memahami. Misalnya saja orang yang mempelajari filsafat. Karena sering berkontemplasi atau merenung, sebagian orang lantas melabeli orang yang belajar filsafat bisa bikin gila. Benarkah demikian?
Rahman, alumnus Fakultas Filsafat di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta mengatakan dirinya kerap mendapati guyonan bahwa mahasiswa Filsafat dianggap 'gila'. Sebab umumnya mereka kerap mempertanyakan banyak hal yang terkadang tidak dianggap lumrah oleh orang kebanyakan.
"Guyonan dikatakan 'gila' sering didengar. Soalnya banyak yang menganggap pikiran kita terlalu mengawang. Ada yang bilang juga kita ini belajar ilmu santet, kedukunan. Tapi itu kan hanya guyon," tutur Rahman kepada detikHealth, Rabu (23/10/2012).
Dia menyampaikan Filsafat merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Karena itu tidak mungkin suatu ilmu akan mengakibatkan gangguan kejiwaan secara massal.
dr Andri SpKj, psikiater dari RS Omni Alam Sutra Jakarta menjelaskan orang yang terlalu banyak berpikir lantas mengalami gangguan jiwa tidak sepenuhnya benar. "Nyatanya ada banyak orang yang banyak berpikir tidak apa-apa. Ada faktor fisiologis di otak yang ikut mempengaruhi," kata dr Andri ketika berbincang dengan detikHealth.
dr Andri menegaskan bahwa memang berbagai masalah yang muncul bisa membuat seseorang menjadi stres atau bahkan depresi. Tapi bila ditangani dengan baik, maka gangguan yang muncul tidak akan menyebabkan masalah. Kerentanan mengalami gangguan mental tergantung dari kemampuan individu untuk mengatasi masalahnya.
Gangguan mental yang parah umumnya tidak muncul serta merta. Untuk dapat berkembang menjadi skizofrenia dan berhalusinasi, biasanya diawali dengan gangguan depresi. Umumnya membutuhkan waktu minimal 10 tahun dari mulai munculnya permasalahan sampai memicu terjadinya skizofrenia. Selain itu, faktor genetik juga ikut berperan dalam terjadinya gangguan jiwa.
"Memang pada beberapa kasus gangguan skizofrenia muncul karena penderitanya memiliki masalah dalam kehidupannya. Tapi terkadang penyebabnya bukan hanya itu saja. Seringkali ada faktor genetik yang mempengaruhi. Depresi tak akan menjadi skizofrenia kalau tak ada unsur genetik," terang dr Andri.
Meskipun demikian, dr Andri menerangkan bahwa bukan berarti skizofrenia juga disebabkan karena keturunan. Memang ada faktor biologis yang membuat orang lebih rentan. Namun kerentanan ini bisa diminimalisir dengan kemampuan menyelsaikan masalah dan relaksasi atau menenangkan pikiran. Selain itu, faktor psikologis seperti kepribadian tertentu juga amat berperan.
"Kebanyakan orang yang rentan mengalami skizofrenia adalah orang yang introvert atau cenderung tertutup dan menyendiri. Orang yang memiliki kepribadian Skizoid atau cenderung mengisolasi diri juga rentan mengalami gangguan psikologis, terutama depresi," jelas dr Andri.
Oleh karena itu, beban masalah yang menumpuk bukan menjadi ancaman selama seseorang memiliki cara untuk mengelola dan melepas ketegangan. Bisa dengan refreshing, relaksasi atau berbagi cerita kepada orang lain.